Oleh: politisimuslim | April 18, 2007

SYARIAT ISLAM DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Pendahuluan
Semua orang tahu alam Indonesia sangat kaya. Areal hutan Indonesia termasuk paling luas di dunia; tanahnya subur, alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut menakjubkan. Wilayah perairannya sangat luas, belum lagi kandungan ikan yang diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, mutiara, minyak dan kandungan mineral lainnya, termasuk di dalamnya keindahan alam bawah laut.
Potensi ikan di laut Indonesia saja, menurut Menteri Kelautan, bisa menghasilkan devisa lebih dari 8 miliar US dolar setiap tahunnya. Sementara itu, di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batu bara, dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak yang juga termasuk cukup besar. Kandungan emas di bumi Papua yang kini dikelola PT Freeport Indonesia, misalnya, konon termasuk yang terbesar di dunia. Tak heran bila McMoran Gold and Coper, induk dari PTFI, berani membenamkan investasi yang sangat besar untuk mengeduk emas dari bumi Papua itu sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Akan tetapi, semua orang juga tahu, kini, Indonesia terpuruk menjadi negara miskin. GNP per kapita hanya sedikit lebih banyak dari Zimbabwe, sebuah negara miskin di Afrika. Keadaan rakyatnya yang miskin, masih ditambah dengan utang negara yang luar biasa besar. Utang itu, disebut-sebut, lebih dari Rp1400 triliun rupiah. Sebanyak Rp742 triliun rupiah di antaranya berupa utang luar negeri, sisanya adalah utang dalam negeri (Forum, 5 Maret 2002). Pertanyaannya, siapa yang harus menanggung beban utang yang besar itu? Tidak lain, tentu saja adalah rakyat Indonesia sendiri. Hal ini tampak pada pos penerimaan dalam APBN tahun 2002 yang dari sektor pajak mencapai sekitar 70%. Hal Itu berarti, rakyatlah yang harus menanggung beban keterpurukan ekonomi Indonesia. Jika kondisi seperti ini tidak segera dibenahi, maka dikhawatirkan akan timbul bencana ekonomi yang lebih berat dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.
Tampak, bahwa beban perbaikan ekonomi ke depan akan semakin bertambah berat karena Indonesia harus menanggung cicilan utang plus bunganya, ditambah dengan masih tingginya ketergantungan pemerintah terhadap bantuan (utang) luar negeri untuk keperluan pembangunan nasional dan berjalannya roda pemerintahan.
Dengan demikian, sesungguhnya, pola pembangunan Indonesia di masa sekarang ini tidaklah banyak mengalami perubahan dibanding dengan masa Orde Baru (yang telah direformasi itu), yaitu tetap mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan dari utang luar negeri dan menggenjot pajak. Belakangan, utang luar negeri tidak berkurang, tetapi justru makin bertambah terus. Menurut Lubis et al., (1998) hal itu memunculkan persoalan baru seperti kerusakan hutan dan polusi alam akibat eksploitasi sumber daya alam yang makin tak terkendali demi mendapatkan devisa dan pesanan negara donor di luar negeri sebagai cicilan utang luar negeri plus bunganya yang terus membengkak.
Sumber daya alam Indonesia yang demikian kaya itu ternyata tidak memberikan berkah yang semestinya. Berdasarkan hal ini sangat bisa dimengerti, mengapa negara kaya seperti Indonesia penduduknya harus menjadi miskin papa laksana ‘ayam mati di dalam lumbung beras’. Mengapa hal itu bisa terjadi? Di mana letak kekeliruannya, pada sistem pengelolaannya ataukah pada orang-orangnya yang kurang cakap dan kurang amanah? Ataukah keduanya?

Potensi Kekayaan Alam Indonesia
Realitas hidup dan kehidupan manusia tidak terlepas dari alam dan lingkungannya, karena hal tersebut merupakan hubungan mutualisme dalam tatanan keseimbangan alam dan kehidupannya (Balancing Ecosystem). Sumber daya alam terbagi dua, yaitu SDA yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable) dan yang dapat diperbaharui (renewable). Keanekaragaman hayati termasuk ke dalam sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Potensi sumber daya alam hayati tersebut bervariasi, bergantung pada letak suatu kawasan dan kondisinya. Pengertian istilah sumber daya alam hayati cukup luas, yakni mencakup sumber daya alam hayati, tumbuhan, hewan, bentang alam (landscape). Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam hayati yang berlimpah sehingga dikenal sebagai negara Megabiodiversity. Keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan yang terbanyak kedua di seluruh dunia.

Wilayah hutan tropis Indonesia adalah yang terluas ketiga di dunia dengan cadangan minyak, gas alam, emas, tembaga, dan mineral lainnya. Terumbu karang dan kehidupan laut memperkaya ke-17.000 pulaunya. Bahkan, Indonesia memiliki tanah dan area lautan yang luas, dan kaya dengan berjenis-jenis ekologi. Menempati hampir 1,3 persen dari wilayah bumi, mempunyai kira-kira 10 persen jenis tanaman dan bunga yang ada di dunia, 12 persen jenis binatang menyusui, 17 persen jenis burung, 25 persen jenis ikan, dan 10 persen sisa area hutan tropis, yang kedua setelah Brazil (World Bank, 1994). Walaupun demikian, persoalan tentang pengelolaan sumber daya alam hanya mendapat perhatian sedikit dari para pengambil kebijakan.

Kepulauan Indonesia yang terdiri atas 17.000 pulau, merupakan tempat tinggal bagi flora dan fauna dari dua tipe yang berbeda asal usulnya. Bagian barat merupakan kawasan Indo-Malayan, sedang bagian timur termasuk kawasan Pasifik dan Australia. Meski daratannya hanya mencakup 1,3 persen dari seluruh daratan di bumi, Indonesia memiliki hidupan liar flora dan fauna yang spektakuler dan unik. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati yang mengagumkan: 10 persen dari spesies bunga yang ada di dunia, 12 persen dari spesies mamalia dunia, 16 persen dari seluruh spesies reptil dan amfibi, 17 persen dari seluruh spesies burung, dan 25 persen dari semua spesies ikan yang sudah dikenal manusia.

Sebagian besar hutan yang ada di Indonesia adalah hutan hujan tropis, yang tidak saja mengandung kekayaan hayati flora yang beranekaragam, tetapi juga termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan liarnya. Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia-Pasifik, yaitu diperkirakan 1.148.400 kilometer persegi. Hutan Indonesia termasuk yang paling kaya keanekaragaman hayati di dunia. Hutan Indonesia dikenal sebagai hutan yang paling kaya akan spesies palm (447 spesies, 225 di antaranya tidak terdapat di belahan dunia yang lain), lebih dari 400 spesies dipterocarp (jenis kayu komersial yang paling berharga di Asia Tenggara), dan diperkirakan mengandung 25,000 species tumbuhan berbunga. Indonesia juga sangat kaya akan hidupan liar: terkaya di dunia untuk mamalia (515 spesies, 36% di antaranya endemik), terkaya akan kupu-kupu swalowtail (121 spesies, 44% di antaranya endemik), ketiga terkaya di dunia akan reptil (ada lebih dari 600 spesies), keempat terkaya akan burung (1519 spesies, 28% di antaranya endemik) kelima untuk amfibi (270 spesies), dan ketujuh untuk tumbuhan berbunga.

Lingkungan Pesisir dan Kelautan di Indonesia sangatlah panjang. Panjang seluruh garis pesisir di Indonesia mencapai 81.000 kilometer, ini adalah 14% dari seluruh pesisir di dunia. Indonesia adalah negara yang memiliki pesisir terpanjang di dunia. Ekosistem kelautan yang dimiliki oleh Indonesia sungguh sangat bervariasi, dan mendukung kehidupan kumpulan spesies yang sangat besar. Indonesia memiliki hutan bakau yang paling luas, dan memiliki terumbu karang yang paling spektakuler di kawasan Asia. Hutan bakau paling banyak dijumpai di Pesisir Timur Sumatra, pesisir Kalimantan, dan Irian Jaya (yang memiliki 69% dari seluruh habitat hutan bakau di Indonesia). Adapun, lautan biru di Maluku dan Sulawesi menaungi ekosistem yang sangat kaya akan ikan, terumbu karang, dan organisme terumbu karang yang lain.

Pengelolaan SDA di Indonesia
Seperti telah banyak diketahui, di Indonesia, khususnya sepanjang pemerintahan Orde Baru, individu ataupun swasta bisa mendapatkan hak yang diberikan oleh penguasa pada waktu itu untuk menguasai dan mengeksploitasi potensi-potensi sumber daya alam, seperti tambang (batu bara, emas, tembaga), hutan, minyak gas bumi, dan sebagainya. Untuk sektor kehutanan, sebagai contoh, menurut laporan Warta Ekonomi (Agustus, 1998), sebagian besar hutan di Indonesia sampai sebelum reformasi, sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Di antaranya, Grup Kayu Lapis milik Hunawan Widjajanto menguasai 3,5 juta hektare HPH, menduduki tempat teratas. Urutan selanjutnya adalah Grup Djajanti Djaja milik Burhan Uray yang menguasai 2,9 juta hektare, Grup Barito Pacific milik Prajogo Pangestu memegang 2,7 hektare, Grup Kalimanis milik Bob Hasan menguasai 1,6 juta hektare, PT Alas Kusumah Group menguasai 1,2 juta hektare, Sumalindo Group dengan luas 850.000 hektare, PT Daya Sakti Group dengan luas 540.000 hektare, Raja Garuda Mas Group dengan luas 380.000 hektare, dan seterusnya. Dengan pola pengelolaan yang relatif tetap, kepemilikan HPH seperti tersebut di atas diyakini hingga kini belum banyak berubah.
Meski dalam kontrak perjanjian tidak tertulis aturan menguasai sumber daya alam dalam bentuk hak milik, tapi yang berhak untuk memiliki hasil bersih dari sumber daya alam yang telah dieksploitasi tersebut adalah para pemegang sahamnya, setelah dikurangi biaya produksi, pajak, dan gaji buruh. Sebagai contoh, menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya yang ketika itu adalah 2,5 miliar US Dolar (kini diperkirakan mencapai sekitar 7 – 8 miliar US dolar — Kompas, 10 Februari 2001). Dari hasil itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 %, sedangkan sisanya, yaitu sebesar 83 % masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
Pengelolaan hutan dengan sistem HPH, sebenarnya, bukan sistem asli Indonesia, melainkan ditiru dari sistem Belanda. Sistem pemberian HPH yang sesungguhnya sudah dianggap salah oleh Belanda dan sangat merugikan rakyat. Beratus tahun kemudian, tepatnya tahun 1968, sistem itu diterapkan rezim Orde Baru. Saat itu, pemerintah memang benar-benar sedang butuh duit untuk biaya pembangunan sehingga hampir setengah dari seluruh luas hutan yang 144 juta hektare itu diperkenankan untuk diambil kayunya.
Dalam konsep HPH, pemegang HPH mengeksploitasi hutan selama 35 tahun melalui rencana karya tahunan (RKT). Penebangan kayu sesuai RKT itu dilakukan terhadap blok-blok hutan secara berkeliling, sesudah itu diidealkan akan ditanam kembali sehingga pada tahun ke-36 atau sesudah habis masa konsesi, hutan pada RKT pertama bisa ditebang kembali. Dengan konsep itu, pengelola HPH harus benar-benar orang yang mengerti kehutanan, sebab hutan memiliki tiga fungsi sekaligus, yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Dalam praktiknya, konsesi HPH dengan luas rata-rata 100.000 hektare itu diberikan kepada pengusaha “kelas dengkul”, yayasan-yayasan, termasuk yayasan milik tentara dan institusi lain yang sama sekali tidak memiliki modal, keahlian dan pengetahuan tentang kehutanan. Mereka akhirnya mencari mitra dari luar negeri (sebagian besar dari Malaysia) dan mereka hanya menerima fee dari para kontraktor asing itu.
Pada kenyataannya pula, para pengusaha itu ternyata mengeksploitasi hutan secara membabi buta. Bila untuk mendapatkan HPH tersebut diperlukan biaya, termasuk untuk menyuap para pejabat terkait; sebagai pengusaha, mereka, berkepentingan untuk dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan itu secepat mungkin dengan segala cara. Maka dari itu, terjadilah eksploitasi hutan secara semena-mena. Perjalanan sejarah hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia ini benar-benar buram, sebab sejak itulah pengusahaan hutan di Indonesia tidak lagi mengindahkan aspek kelestarian.
PT Inhutani, BUMN di bawah pengelolaan teknis Dephutbun pernah meneliti bahwa eksploitasi hutan melalui pola HPH ternyata menimbulkan kerusakan lebih dari 50 juta hektare. Kerusakan itu makin menggila karena sering pula pengusaha hutan melakukan ijon. Pada waktu HPH masih dalam proses atau dalam taraf surat keputusan pencadangan, mereka sudah melaksanakan transaksi dan mendapat fee dari mitra asing tersebut. Pada fase inilah terjadi penjualan/penggadaian hutan Indonesia dengan mengabaikan segala aspek kelestarian dan fungsi sosial hutan. Inilah proses pembabatan hutan tropis di Indonesia melalui Tebang Habis Indonesia (THI). Ketentuan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) tidak ada dalam kamus mereka. Hutan produksi yang dicadangkan untuk HPH seluas 60 juta hektare dibabat habis. Akhirnya, rakyat yang memiliki hutan itu tidak kebagian apa-apa. Kini, setelah puluhan juta hutan dibabat habis, rakyat masih harus terus menanggung derita akibat utang negara yang berjibun jumlahnya.
Kini, area kerusakan hutan mencapai 56,98 juta hektare. Untuk merehabilitasinya, Indonesia memerlukan dana Rp225 triliun. Sementara itu, dana reboisasi (DR) di APBN hanya dianggarkan Rp7 triliun saja (Kompas, 23 Oktober 2000). Itupun masih akan bertambah karena kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 1,6 juta hektare per tahun. Adapun kemampuan rehabilitasi hutan dan lahan di luar kawasan hutan hanya 400.000 – 500.000 hektare per tahun (Kompas, 23 Oktober 2000). Dalam beberapa tahun ke depan, hutan Indonesia terancam punah jika illegal logging (penebangan kayu ilegal) tidak dihentikan. Menurut data World Bank, jika kondisi ini terus berlangsung, hutan di Sumatra akan punah pada 2005, sedangkan hutan di Kalimantan akan punah pada 2010.
Sementara itu, dalam bidang perminyakan, menurut laporan majalah SWA Sembada (April-Mei, 1996), hampir semua sumur minyak di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional, seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic Richfield (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya, Pertamina yang memproduksi. Dalam skala lebih kecil muncul belakangan pengusaha-pengusaha swasta nasional yang ikut terjun dalam bisnis minyak bumi, seperti Arifin Panigoro dengan Medconya, Tommy Soeharto dengan Humpussnya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim, dan Astra International.
Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Secara geologis, Indonesia merupakan wilayah pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteranean dengan Sirkum Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau akibat kegiatan vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.
Dengan besarnya potensi tambang ditambah aturan-aturan yang menguntungkan, Indonesia dengan mudah menarik investor asing untuk menanamkan modalnya.Tahun 1967 PT Freeport Indonesia (FI) memulai dengan Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Selama itu, PTFI boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib menggunakan produksi dalam negeri) dan pemerintah Indonesia hampir tidak mendapat kompensasi apa pun. Setelah kondisi politik dan perekonomian Indonesia mulai stabil, Pemerintah Indonesia (dalam rangka menarik investor asing) memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak terlalu besar, maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam KK II. Berikutnya pada KK III, Pemerintah Indonesia mulai menerapkan pajak ekspor US$ 0,025-0,7 per metrik ton bijih tembaga, pajak penghasilan 35 % dan harus menyisihkan 10 % saham bagi mitra lokal. Selama periode 1977-1985 ada sekitar 13 perusahaan mendapatkan KK III. Pada KK IV pemerintah mulai mengendurkan persyaratan kembali, di antaranya tidak harus menyisihkan saham ke mitra lokal. Pada KK IV ini ada 95 perusahaan telah masuk (SWA Sembada, Juni-Juli, 1997).
Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta ons. Kemudian, mereka mengajukan pembaharuan KK selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya. Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga. Namun menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke pemerintah tidak berubah, hanya 1 – 3,5 %, sehingga penerimaan pemerintah dari pajak, royalti dan deviden FI hanya US$ 479 juta (SWA Sembada, 1997). Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibanding pendapatan diperoleh FI sekitar US$ 1,5 miliar (tahun 1996), yang dipotong 1 % untuk dana pengembangan masyarakat Irian (ketika itu sekitar US$ 15 juta) (Gatra, Oktober, 1998). Dari data-data di atas dapat dilihat bahwa mulai dari KK I sampai KK V telah seratus lebih perusahaan-perusahaan swasta yang mengeruk kekayaan alam Indonesia.
Jelaslah, bahwa pemberian HPH kepada segelintir orang dalam pengelolaan hutan, juga pemberian ladang konsesi kepada perusahaan asing untuk mengelola minyak, emas, atau barang tambang lainnya, seperti yang dilakukan selama ini sudah terbukti salah. Dengan cara seperti itu, hasilnya lebih banyak dinikmati oleh segelintir pengusaha atau perusahaan-perusahaan asing dan penguasa yang berkolusi dengan para pengusaha ketimbang yang dirasakan oleh rakyat. Pengelolaan hutan dan barang tambang serta bentuk kepemilikan umum lain dengan cara seperti yang selama ini dilakukan jelas harus ditinjau ulang.

Pengelolaan SDA dalam Islam

Dalam pandangan Islam, hutan dan barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum. Paradigma pengelolaan sumber daya alam milik umum yang berbasis swasta atau (corporate based management) harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management) dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumber daya (sustainable resources principle).
Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan hasilnya kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadis riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadis tersebut, Abyad diceritakan telah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat,

“Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)” Rasulullah kemudian bersabda, “Tariklah tambang tersebut darinya”.

Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasul mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum. Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu.
Yang menjadi fokus dalam hadis tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul saw. mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, ia menarik kembali pemberian itu. An-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan:

“Adapun pemberian Nabi saw. kepada Abyadh bin Hambal terhadap tambang garam yang terdapat di daerah Ma’rab, kemudian beliau mengambilnya kembali dari tangan Abyadh. Sesungguhnya beliau mencabutnya semata karena menurut beliau tambang tersebut merupakan tanah mati yang dihidupkan oleh Abyadh, lalu dia mengelolanya. Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang berarti barang tambang tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mata air dan air bor, maka beliau mencabutnya kembali karena sunah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api, dan air menyatakan bahwa semua manusia berserikat dalam masalah tersebut. Untuk itu, beliau melarang bagi seseorang untuk memilikinya, sementara yang lain tidak dapat memilikinya”.

Penarikan kembali pemberian Rasul saw. dari Abyadh adalah illat dari larangan sesuatu yang menjadi milik umum termasuk dalam hal ini barang tambang yang kandungannya sangat banyak untuk dimiliki individu. Dalam hadis dari Amru bin Qais lebih jelas lagi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan garam di sini adalah tambang garam atau “ma’danul milhi” (tambang garam). Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa Rasulullah telah memberikan tambang kepada Bilal bin Haris Al-Muzni dari kabilahnya, serta hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal dari Abi Ikrimah yang mengatakan, “Rasulullah saw.memberikan sebidang tanah ini kepada Bilal dari tempat ini hingga sekian, berikut kandungan buminya, baik berupa gunung maupun tambang” sebenarnya tidak bertentangan dengan hadis Abyadh ini. Hadis di atas mengandung pengertian bahwa tambang yang diberikan oleh Rasulullah kepada Bilal kandungannya terbatas sehingga boleh diberikan. Hal ini sebagaimana Rasulullah pertama kali memberikan tambang garam tersebut kepada Abyadh. Akan tetapi, kebolehan pemberian barang tambang ini jangan diartikan secara mutlak, sebab jika diartikan demikian tentu bertentangan dengan pencabutan Rasul setelah diketahui bahwa tambang itu kandungannya besar bagaikan air yang terus mengalir. Jadi, jelaslah bahwa kandungan tambang yang diberikan Rasulullah tersebut bersifat terbatas.
Menurut konsep kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar, baik yang tampak sehingga bisa didapat tanpa harus susah payah, seperti garam, batu bara, dan sebagainya; maupun tambang yang berada di dalam perut bumi yang tidak bisa diperoleh, kecuali dengan usaha keras, seperti tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, dan sejenisnya, termasuk milik umum. Baik berbentuk padat, seperti kristal maupun berbentuk cair, seperti minyak, semuanya adalah barang tambang yang termasuk ke dalam pengertian hadis di atas.
Benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah untuk dimiliki oleh pribadi saja, maka benda tersebut termasuk milik umum. Namun, meski termasuk ke dalam kelompok pertama, karena merupakan fasilitas umum, benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama dari segi sifatnya. Oleh karena itu, benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Berbeda dengan kelompok pertama, yang memang boleh dimiliki oleh individu. Air misalnya, mungkin saja dimiliki oleh individu, tapi bila suatu komunitas membutuhkannya, individu tidak boleh memilikinya. Berbeda dengan jalan, sebab jalan memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Oleh karena itu, sebenarnya, pembagian ini –meskipun dalilnya bisa diberlakukan illat syar’iyah, yaitu keberadaannya sebagai kepentingan umum— esensi faktanya menunjukkan bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property), seperti jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.
Al-‘Assal & Karim (1999: 72-73) mengutip pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya al-Mughni mengatakan:

“Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), petroleum, intan, dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslim, sebab hal itu akan merugikan mereka”.

Maksud pendapat Ibnu Qudamah adalah bahwa barang-barang tambang adalah milik orang banyak meskipun diperoleh dari tanah hak milik khusus. Barang siapa menemukan barang tambang atau petroleum pada tanah miliknya tidak halal baginya untuk memilikinya dan harus diberikan kepada negara untuk mengelolanya.

Pemasukan Negara
Dengan memahami ketentuan syariat Islam terhadap status sumber daya alam dan bagaimana sistem pengelolaannya, bisa didapat dua keuntungan sekaligus, yakni didapatnya sumber pemasukan bagi anggaran belanja negara yang cukup besar untuk mencukupi berbagai kebutuhan negara. Selain itu, negara diharapkan mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap utang luar negeri dalam pembiayaan pembangunan negara.
Dalam sistem ekonomi Islam, menurut An-Nabhani (1990), negara mempunyai sumber-sumber pemasukan tertentu yang telah ditetapkan oleh syariat melalui Baitul Mal. Baitul Mal adalah kas negara untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran harta yang dikelola oleh negara. Mekanisme pemasukan ataupun pengeluarannya semua ditentukan oleh syariat Islam. Sektor-sektor pemasukan dan pengeluaran Kas Baitul Mal adalah sebagai berikut.
1. Sektor kepemilikan individu
Pemasukan dari sektor kepemilikan individu ini berupa zakat, infaq, dan shadaqah. Untuk zakat, karena kekhususannya, harus masuk kas khusus dan tidak boleh dicampur dengan pemasukan dari sektor yang lain. Dalam pengeluarannya, khalifah (kepala negara dalam pemerintahan Islam) harus mengkhususkan dana zakat hanya untuk delapan pihak, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh al-Quran (QS at-Taubah [9]: 60), yaitu: (1) Faqir, (2) Miskin, (3) Amil zakat, (4) Muallaf, (5) Memerdekakan budak, (6) Gharimin (terlilit utang), (7) Jihad fi sabilillah, dan (8) Ibnu sabil (yang kehabisan bekal dalam perjalanannya). Sementara itu, infaq dan shadaqah pendistribusiannya diserahkan kepada ijtihad khalifah yang semuanya ditujukan untuk kemashlahatan umat.
2. Sektor kepemilikan umum
Tercakup dalam sektor ini adalah segala milik umum, yaitu yang berupa hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, dan sebagainya. Pemasukan dari sektor ini dapat digunakan untuk kepentingan:
Biaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, mulai dari biaya tenaga kerja, pembangunan infrastruktur, penyediaan perlengkapan, dan segala hal yang berhubungan dengan dua kegiatan pengelolaan sumber daya alam di atas.
Membagikan hasilnya secara langsung kepada masyarakat yang memang sebagai pemilik sumber daya alam itu. Mereka berhak untuk mendapatkan hasilnya. Khalifah boleh membagikannya dalam bentuk benda yang memang diperlukan, seperti air, gas, minyak, listrik secara gratis, atau dalam bentuk uang hasil penjualan.
Sebagian kepemilikan umum ini dapat dialokasikan untuk biaya dakwah dan jihad.
3. Sektor kepemilikan negara
Sumber-sumber pemasukan dari sektor ini meliputi fa’i, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10% dari tanah ‘usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad. Untuk pengeluarannya diserahkan pada ijtihad khalifah untuk kepentingan negara dan kemashlahatan umat.

Khatimah
Jelas sekali, pemerintah harus memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya alam negeri ini yang sesungguhnya sangat melimpah. Harus ada strategi baru dalam memanfaatkan sumber daya itu. Sudah saatnya, misalnya, hanya BUMN yang berhubungan dengan hutan saja yang mengelola hutan-hutan yang ada di negeri ini. Demikian pula dengan sumber daya lain. Eksplorasi emas oleh PT Freeport merupakan kesalahan besar. Sejak tahun 1973, sudah lebih dari Rp500 triliun hasil emas melayang ke luar negeri. Memang pemerintah mendapatkan pajak dan sebagainya. Akan tetapi, pasti angkanya jauh lebih kecil dari hasilnya itu sendiri. Andai itu sepenuhnya dikelola oleh negara, dana yang tidak sedikit itu tentu bisa diselamatkan untuk kesejahteraan rakyat. Begitu pula dengan barang tambang lain.
Pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya alam itu hanya mungkin bila BUMN yang menangani semua kekayaan milik umum itu dikelola secara profesional dan amanah. Sudah menjadi rahasia umum betapa di dalam BUMN-BUMN itu selama ini terjadi inefisiensi luar biasa akibat praktik-praktik kolusi dan korupsi. Akibatnya, bukan hanya dana yang tidak sampai ke tangan rakyat, tetapi juga BUMN itu mengalami kerugian. Bagaimana mungkin PLN, misalnya, yang menjadi perusahaan tunggal dalam pengelolaan listrik bisa merugi? Padahal, tidak ada satu pun rakyat yang tidak menggunakan listrik. Di samping itu, tidak ada perusahaan lain yang menjadi saingan PLN. Itu semua terjadi karena mismanajemen dan korupsi. Dengan efisiensi, dana yang diperoleh bisa digunakan untuk kesejahteraan rakyat, selain BUMN itu juga bisa berjalan dengan baik. Rakyatnya makmur sejahtera, negara tidak perlu berutang ke sana kemari. Insya Allah.[]

Wallahu a’lam bi ash-shawab.


Tinggalkan komentar

Kategori